
Di dalam menjalani hidup, alangkah lebih baik jika kita selalu bersifat “taqwa”. Kata-kata “taqwa” seringkali menghiasi dalam bacaan Al-Qur’an. Bahkan dalam kegiatan ibadah tertentu, taqwa selalu mempunyai korelasi dan ruang tersendiri. Bahkan, membentuk jiwa-jiwa “muttaqin” menjadi tujuan dari pelaksanaan ibadah tersebut.
Jika kita tela’ah lebih jauh, setidaknya ada empat sifat (character) yang mencerminkan sifat taqwa yang akan menuntun kita agar tidak terjerumus ke dalam budaya instan, yaitu :
Pertama, seorang yang bertaqwa mempunyai sifat tawadhu’ (rendah hati). Dengan sifat ini, maka takabur (sombong) tidak pantas dimiliki oleh seseorang yang bertaqwa. Penyakit sombong memang sering terjadi pada setiap orang. Penyakit ini datang ketika orang tersebut memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan seperti halnya kekayaan, jabatan, atau bahkan mempunyai kelebihan ilmu. Sejarah Fir’aun dapat dijadikan contoh, bagaimana kesombongan itu dapat menghancurkan hidup seseorang.
Kedua, sifat seorang bertaqwa adalah qana’ah (menerima apa adanya), tanpa menyesali apa yang telah diberikan oleh Allah SWT. Kebanyakan dari kita selalu merasa kekurangan terhadap nikmat Allah SWT, terutama dalam hal kekayaan. Oleh karena itu, yang menjadi penghalang bagi seseorang yang bertaqwa untuk dapat qana’ah adalah sifat tamak, rakus atau tidak pernah merasa cukup. Dari sini kita dapat menjadikan Qarun sebagai contoh, yaitu seseorang yang kaya raya. Namun dengan kekaya’an yang dimilikinya, ia tidak pernah merasa cukup. Bahkan dengan hartanya yang berlimpah, ia tidak pernah menunaikan kewajibannya sebagi muslim yaitu bershadaqah.

Sebagai contohnya yaitu Negara kita, sebagaimana yang telah di bahas di awal tadi. Ini dapat menjadi bukti bahwa tingkat wara’I masyarakat kita masih sangat minimalis. Menghalalkan segala cara, guna mencapai kekuasaan tanpa mempertimbangkan akibat hukum, baik secara horizontal yaitu kepada manusia maupun vertikal yaitu kepada tuhan. yang sepertinya, sudah menjadi budaya bangsa kita ini.
Keempat, sifat muttaqin adalah yakin (optimis). Orang yang maju adalah orang yang memiliki optimis. Bahkan seorang entrepreneur juga mengatakan “pesimis merupakan awal dari sebuah kegagalan”. Oleh karena itu, jiwa optimis memang menjadi modal utama yang harus ditanamkan pada diri anak bangsa. Disadari, terpuruknya bangsa ini diakibatkan krisis multi dimensi yang berlarut-larut. Dan faktor lain yang cukup mempengaruhi krisis tersebut sampai berlarut-larut adalah lemahnya kepercayaan diri dalam menangani krisis yang berkepanjangan ini. Akibatnya, bangsa ini selalu bergantung kepada bangsa lain. Prilaku bangsa seperti itu mencerminkan bangsa ini miskin, baik dari harga diri maupun skill manusianya.
Empat hal inilah yang di maksudkan bersifat “taqwa”. Mudah-mudahan ke-empat hal tersebut dapat merubah kondisi bangsa saat ini secara instan. Akan tetapi, tidak menjadi mustahil pula, kalau empat watak profetik tersebut dapat menjadi pijakan bagi masyarakat kita dalam rangka melakukan perubahan. Untuk itu, memulai dari diri sendiri merupakan kunci keberhasilan dari perubahan yang diimpi-impikan.
Kesimpulannya ::
Allah SWT bisa saja memberikan segala sesuatu secara instan, tapi dia menginginkan agar kita berusaha dan mengalami suatu proses, agar :
1. Kita menjadi generasi muda yang kuat dan berani menghadapi tantangan.
2. Kita sadar bahwa segala sesuatu butuh kesabaran, perjuangan dan pengorbanan.
3. Kita bisa menghargai berkat yang telah diberikan.